Seni Budaya Hindu Budha Di Indonesia
Seperti bagian Asia Tenggara, Inonesia tampaknya telah sangat dipengaruhi oleh India dari abad pertama masehi. Pulau-pulau Sumatra dan Jawa di Indonesia barat kursi kerajaan Sriwijaya abad ke 13 Masehi, yang datang untuk mendominasi sebagian besar daerah sekitar semenanjung Asia Tenggara melalui kekuatan maritime. Kerajaan Sriwijaya telah mengadopsi Mahayana dan Vajrayana, dibawah garis penguasa bernama Sailendras. Sriwijaya menyebarkan seni Budha Mahayana selama ekspansinya ke semenanjung Asia Tenggara. Banyak patung Mahayana Bodhisattva dari periode ini di tandai dengan perbaikan yang sangat kuat dan kecanggihan teknis yang di temukan seluruh wilayah.
Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia
Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya
Hal ini berarti kebudayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Indonesia menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu – Budha.
Wujud akulturasi unsur-unsur budaya :
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 – 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
2.Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme.
Dengan masuknya agama Hindu – Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu – Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
3.Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.
4.Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
5.Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.
Di samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih.
Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Hindu di Indonesia, juga dikenal dengan formal bahasa Indonesia nama Agama Hindu Dharma, mengacu pada Hindu seperti yang dipraktikkan di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh 93% dari penduduk Bali , tapi juga di Sumatera , Jawa (terutama oleh masyarakat Tengger orang-orang di timur), Lombok dan Kalimantan. Hanya sekitar 3% penduduk Indonesia secara resmi Hindu. Di Jawa khususnya, sejumlah besar umat Islam mengikuti-ortodoks, yang dipengaruhi Hindu bentuk non Islam umumnya dikenal sebagai Kejawen / Agama DKI dan abangan Islam. Setiap warga negara Indonesia diwajibkan untuk menjadi anggota terdaftar dari salah satu dari enam mengakui komunitas religius ( Islam , Kristen [yaitu Protestan atau Katolik ], Hindu , Buddha dan Konghucu ). Terinspirasi oleh masa lalu Hindu Jawa, beberapa ratus ribu Jawa dikonversi menjadi Hindu di tahun 1960-an dan 1970-an. Ketika para penganut agama-agama etnis Aluk To Dolo (Sa'dan Toraja) dan Kaharingan (Ngaju, Luangan) mengklaim pengakuan resmi dari tradisi mereka, Departemen Agama diklasifikasikan mereka sebagai varian Hindu pada tahun 1968 dan 1980. The Parisada Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia pada tahun 1984, sebagai pengakuan atas pengaruh nasional dipelopori oleh Gedong Bagus Oka .
Kebudayaan Hindu berasal dari India yang menyebar di Indonesia sekitar abad pertama Masehi melalui kegiatan perdagangan, agama dan politik. Pusat perkembangannya di Jawa, Bali dan Sumatra yang kemudian bercampur (akulturasi) dengan kebudayaan asli Indonesia (kebudayaan istana dan feodal). Proses akulturasi kebudayan India dan Indonesia berlangsung secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, yaitu dengan proses:
a. Proses peniruan (imitasi)
b. Proses Penyesuaian (adaptasi)
c. Proses Penguasaan (kreasi)
Seni Arsitektrur
System pembuatan dan teknik-teknik yang merupakan warisan dari zaman prasejarah yang digunakan untuk pemujaan terhadap nenek moyang pada zaman prasejarah menjadi pondasi yang kuat pada perkembangan seni rupa bangunan klasik Indonesia.
Bangunan Candi
Salah satu bangunan sacral pada zaman klasik adalah candi. Candi berasala dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu Dewa kematian (Dugra). Karenanya candi selalu dihubungkan dengan mnumen untuk memuliakan Raja yang meninggal contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati. Candi digunakan sebagai tempat pemujaan.
Perkembangannya dimulai dari bentuk-bentuk yang hanya menggunakan satu buah pintu. Candi Cangkuang di Jawa Barat adalah candi yang paling sederhana bentuknya dan merupakan candi tertua di Jawa yang merupakan jenis Candi Siwa.
Perkembangan selanjutnya dari bentuk Candi Siwa adalah adanya tambahan-tambahan dalam candi tersebut, seperti penambahan bangunan penampil dan relief-relief sebagai hiasan dengan motif-motif yang semakin kaya.
Pada abad ke 9 muncul bangunan candi untuk agama Budha dengan bentuk yang monumental dan kesannya yang megah. Berikut ni bentuk bangunan candi yang ada di Jawa Tengah.
1. Periode Sajaya
Semuaya bersifat Hindu dan dibangun di daerah pegunungan. Diantaranya kompleks candi Dieng ada 8 buah candi yang beraliran Siwais. Pada periode ini dibangun pula kompleks candi Gedong Songo yang terdiri dari 9 buah, candi Selagriya, candi Pringapus.
2. Periode Syailendra
• Candi Kalasan, dibangun sebagai candi monumen
• Candi Sari, dibangun sebagai candi bihara
• Candi Pawon, dibangun sebagai candi perbekalan
• Candi Mendut, dibangun sebagai candi monumen
• Candi Borobudur, dibangun sebagai candi Stupa
Kelimanya bersifat Budha
3. Periode Mataram Tua
• Kompleks candi Loro Jongrang, bersifat Hindu Siwa
• Kompleks candi Polosan, bersifat Budhis
• Kompleks candi Sewu, bersifat Budhis
Struktur Candi
Candi memiliki tiga bagian,
1. Bagian Kaki
Mempunyai bagian yang luas dibanding dengan ukuran bagian tubuh dan atapnya.
2. Bagian Tubuh
Diletakan diatas bagian kaki, bagian dalamnya terdapat sebuah kamar yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan arca. Dalam perkembangannya mengalami penambahan kamar menjadi lima kamar. Dan yang empat diletakan mengelilingi kamar utama.
3. Atap Candi
Merupakan bentuk limas yang ditutupi oleh mahkota. Jenis-jenis mahkota antara lain,
o Mahkota Lingga
o Mahkota Ratna
o Mahkota Stupa
o Mahkota Amalaka
Ada dua system dalam pengelempokan candi, yaitu:
- Sistem Konsentris (hasil pengaruh dari India) yaitu induk candi berada di tengah-tengah anak-anak candi, contohnya kelompok candi lorojongrang dan prambanan
- System membelakangi (hasil kreasi asli Indonesia )yaitu induk candi berada di belakang anak-anak candi, contohnya candi penataran
Seni Hias Hindu Budha
Bentuk bangunan candi sebenarnya hasil tiruan dari gunung Mahameru yang dianggap suci sebagai tempatnya para Dewa
Oleh sebab itu Candi selalu diberi hiasan sesuai dengan suasana alam pegunungan, yaitu dengan motif flora dan fauna serta mahluk azaib. Bentuk hiasan candi dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Hiasan Arsitektural
ialah hiasan bersifat 3 dimensional yang membentuk struktur bangunan candi, contohnya:
- Hiasan mahkota pada atap candi
- Hisana menara sudut pada setiap candi
- Hiasan motif kala (Banaspati) pada bagian atas pintu
- Hiasan makara, simbar filaster,dll
b. Hiasan Bidang
Adalah hiasan yang biasanya diterapkan pada bidang candi, diantaranya adalah hiasan yang hiasan yang mengambarkan adegan ceritera. Cara penggambarannya ada yang dikerjakan secara :
• Bersambung
• Cara putus-putus dengan diselingi motif lain
Gaya penggambaran dalam ceritera tersebut ada yang bergaya stilasi/dekoratif seperti hiasan candi di Jawa Timur. Dan ada juga yang bergaya realistis yang dipakai di candi Jawa Tengah.
Ceritera yang biasa digunakan sebagai hiasan antara lain :
• Ceritera Ramayana, dapat ditemukan di relief candi Loro Jongrang dan candi induk Panataran
• Ceritera Kresnayana, dapat ditemukan pada relief Candi Loro Jongrangl
• Ceritera Riwayat Sang Budha, terdapat di relief Candi Borobudur
• Ceritera Aruna Wiwaha, terdapat di relief candi Jalatunda
• Ceritera Panji, terdapat pada releif candi Jago
Selan itu terdapat pula hiasan lain seperti :
- Hiasan flora dan fauna
- Hiasan pola geometris
- Hiasan makhluk khayangan
Diantara sekian banyak candi di Indonesia yang paling menonjol adalah candi Borobudur. Candi itu sangat terkenal karena memiliki bangunan yang megah dan monumental serta memiliki nilaki spiritual yang tinggi. Bentuk yang ada pada candi Borobudur adalah bentuk yang melambangkan ajaran agama Budha yang tersusun dari bawah ke atas, antara lain, yaitu:
Kama Datu : menggambarkan siksaan-siksaan manusia
Rupa Datu : sudah tidak dipengaruhi oleh kejahatan tapi masih dipengaruhi oleh materi
Arupa Datu : tidak ada pengaruh luar
Pengaruh kesenian Gupta sangat terasa pula pada bentuk relief-reliefnya, yang mempunyai corak realism, sedangkan tradisi Indonesia yan masuk dalam relief tersebut berupa bentuk-bentuk bangunan dengan gayanya yang khas.
Sifat dinamis dari relief itu Nampak pada bagian Kama Datu yang mengungkapan kehidupan yang penuh dengan keahatan dan hawa nafsu. Sedangkan pada relief Rupa Datu dimulai dari sifat yang hidup, kemudian makin ke atas makin tenang.
Sebelm perpindahan pusat kebudayaan, yaitu sekitar abad ke 11, di Jawa Tengah sempat mendirkan sebuah candi yang keagungannya tidak kalah dengan candi Borobudur, yaitu Candi Prambanan.
Bentuk candi Prambanan tersebut tinggi langsing setinggi 47 meter dan dikenal pula dengan sebutan Lara Jonrang. Merupakan campuran gaya Budhis dan Siwaisserta unsure-nsur lain yang merupakan gaya khas Jawa Timur.
Pengaruh Budha pada candi tersebut nampak pada :
Hiasan “motif Prambanan” yang terdiri dari relung kebudayaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Hiasan pagar langkah dan atap yang berupa ratna yang berbentuk stupika penghias candi Budha
Arca penaga mata angin (loka pala) bentuknya mirip dengan arca Bodhisatwa.
Perpindahan pusat kebudayaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur menibulkan banyak perubahan seni pada waktu itu. Dasar-dasar perubahan tersebut antara lain :
Latar belaka politik
Jawa Timur menekankan pada politik perluasan daerah. Akibatnya banyak masuk kesenian asing seperti esenian Cina dan Campa..
Latar belakang kebudayaan
Bercampurnya keudayaan yang hidup dikalangan istana dan rakyat biasa
Pengaruh kesenian India semakin berkurang
Karena semakin berperannya kesenian tradisi Indonesia asli (akulturasi Indnesia Hindu)
Adanya bahan baru yang ditemukan untuk pembuatan seni bangunan
Singkretsme agama Budha, Hindu dan kepercayaan daerah asli Indonesia
Seni Rupa Hindu Periode Jawa Timur
Jaman Peralihan (Erlangga)
Pada seni bangunannya sudah meperlihatkan tanda – tanda gaya seni jawa timur seperti tampak pada Candi Belahan yaitu pada perubahan kaki candi yang bertingkat dan atapnya yang makin tinggi. Kemudian pada seni patungnya dudah tidak lagi memperlihatkan tradisi India, tetapi sudah diterapkan proposisi Indonesia seperti pada patung Airlangga
Jaman Singasari
Pada seni bangunannya sudah benar – benar meperlihatkan gaya seni Jawa Timur baik pada struktur candi maupun pada hiasannya, contohnya: candi singosari, candi kidal, dan candi jago. Seni patungnya bergaya Klasisistis yang bertolak dari gaya seni Jawa Tengah, hanya seni patung singosari lebih lebih halus pahatannya dan lebih kaya dengan hiasan contohnya patung Prajnaparamita, Bhairawa dan Ganesha.
Jaman Majapahit
Candi – candi Majapahit sebagian besar sudah tidak utuh lagi karena terbuat dari batu bata, perbedaan dengan candi di Jawa Tengah yang terbuat dari batu kali / andhesit peninggalan candinya: kelompok candi Penataran, Candi Bajangratu, candi Surowono, candi Triwulan dll
Kemudian pada seni patungnya sudah tidak lagi memperlihatkan gaya klasik Jawa Tengah, melainkan gaya magis monumental yang lebih menonjolkan tradisi Indonesia seperti tampak pada raut muka, pakaian batik dan perhiasan khas Indonesia. Selain patung dari batu juga dikelan patung realistic dari Terakotta (tanah liat) hasil pengaruh darin Campa dan China, contohnya patung wajah Gajah Mada
Seni patung Hindu Budha (Arca)
Patung dalam agama Hindu merupakan hasil perwujudan dari Raja dengan Dewa penitisnya. Orang Hindu percaya adanya Trimurti: Dewa Brahma Wisnu dan Siwa. Untuk membedakan mereka setiap patung diberi atribut keDewaan (laksana/ciri), misalnya patung Brahma laksananya berkepala empat, bertangan empat dan kendaraanhya (wahana) hangsa). Sedangkan pada patung wisnu laksananya adalah para mahkotanya terdapat bulan sabit, dan tengkorak, kendaraannya lembu, (nadi) dsb
Dalam agama Budha bisaa dipatungkan adalah sang Budha, Dhyani Budha, Dhyani Bodhidattwa dan Dewi Tara. Setiap patung Budha memiliki tanda – tanda kesucian, yaitu:
- Rambut ikal dan berjenggot (ashnisha)
- Diantara keningnya terdapat titik (urna)
- Telinganya panjang (lamba-karnapasa)
- Terdapat juga kerutan di leher
- Memakai jubah sanghati
lenkapnya mengenai perkembangan arca sebagai berikut:
- Abad ke 8-9, seni arca Jawa tengah berpusat di Dieng. Bentuknya merupakan pengabungan antara manusia dengan hewan.
- Abad ke 9-10, berusat di awa Tengah bagian Selatan. Bentuknya bersifat Budhis
- Abad ke 10-11, timbl arca-arca Wisnu yang mengendarai garuda. Proporsi Indonesia sudah diterapkan
- Abad ke 13 seni arca Jawa imur mencapai puncak kejayaan pada masa Singosari. Paenggambaran proporsi Indonesia sudah betul-betul menonol.
- Pada masa Majapahit awal, arca sudah menggunakan raut muka Indonesia.
- Arca Majapahit akhir, arca raut muka arca nampak adanya pengaruh dari Cina, bersumping yaitu hiasan yang ditempel pada telina.
- Arca-arca logam, contoh : arca Budha dan wajrapani yan terbuat dari emas ditemukan di Demak, arca perak dtemukan di Semarang, Arca perunggu ditemukan di Sulawesi Barat.
Seni kerajinan
i. Dari bahan tanah liat, seperti gerabah-gerabah, kendi, guci dan bentuk-bentuk lain sebagai barang rumah tangga.
ii. Bahan perunggu, seperti lampu, gayung, mangkuk, sendok cermin dan tempat-tempat parfum. Untuk upacara menunakan genta yang bearhiaskan cakra, dll.
iii. Bahan logam mulia, seperti kotak perhiasan, bandul kalung yang diberi hiasan batu angkik. Sebagai peralatan upacara diunakan lempengan emas yang dberi motif binatang
Bangunan Profal
Bentuk-bentuk bangun profal sudah banyak dibangun ada massa klasik, hanya sayan peningalannya tidak selengkap banunan sacral. Diantaranya ialah saluran air, istana-istana yang sebaian besar hanya puing-puingnya saja.
0 komentar